daidwijatmiko.com – Cara Membuka Hati yang Terkunci
Oleh: Dwi Jatmiko, M.Pd.
Guru PAI SD Muhammadiyah 1 Ketelan Solo, Dai Champion Standardisasi MUI Pusat
Dalam dunia yang terus bergerak cepat dan penuh distraksi, manusia dihadapkan pada situasi moral yang kian kompleks.
Nilai-nilai kejujuran dan kehati-hatian kerap kali tergilas oleh ambisi, pragmatisme, dan tuntutan hidup.
Tak jarang, batas antara yang halal dan yang haram menjadi buram. Di sinilah pentingnya menghidupkan kembali kesadaran spiritual untuk menjaga hati.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh An-Nu’man bin Basyir RA:
“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang samar (syubhat), yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia…”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Sabda tersebut bukan sekadar nasihat teoretis, tetapi cermin realitas manusia yang sering kali tertipu oleh zona abu-abu.
Rasulullah mengumpamakan orang yang berani masuk ke wilayah syubhat seperti penggembala yang merumput dekat tanah larangan: tampaknya aman, namun sangat mungkin tergelincir ke yang haram. Ini bukan soal kebetulan, tetapi soal prinsip dan keberanian untuk memilih jalan yang benar, walaupun berat.
Dalam praktik kehidupan sehari-hari, wilayah syubhat itu bisa berupa “kebiasaan kecil” yang tampak sepele: memanipulasi laporan keuangan, menggunakan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi, atau konsumsi yang berlebihan tanpa mempertimbangkan aspek etika dan keadilan sosial.
Nabi menutup hadis tersebut dengan pernyataan fundamental:
“…Ketahuilah bahwa dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.”
Hati (qalb) menjadi pusat pengendalian moral dan spiritual manusia. Hati yang bersih melahirkan tindakan yang jernih. Namun ketika hati telah ternoda oleh syahwat dunia, tindakan pun kehilangan arah. Oleh karena itu, menjaga hati bukan sekadar kegiatan spiritual, melainkan misi hidup.
Kini, kita hidup bukan di zaman kekurangan ilmu, tetapi di zaman kekurangan kehati-hatian. Teknologi informasi berkembang pesat, tetapi kontrol etis dan kebeningan hati justru melemah. Maka semangat wara’—sikap berhati-hati terhadap perkara syubhat—perlu kembali digalakkan, bukan hanya dalam kehidupan individu, tapi juga dalam sistem sosial, pendidikan, dan pemerintahan.
Menjaga hati adalah jihad yang sunyi. Ia tidak ramai di media sosial, tidak memicu pujian, tetapi memiliki bobot besar di hadapan Allah SWT. Karena dari sanalah muncul integritas, tanggung jawab, dan keikhlasan yang sejati. Seperti ditegaskan dalam Al-Qur’an:
يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ، إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“(Yaitu) pada hari di mana harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”
(QS. Asy-Syu’ara: 88–89)
Zaman boleh berubah, tantangan boleh meningkat, tetapi kompas hati yang jernih akan selalu menjadi cahaya dalam menapaki jalan hidup. Dan menjaga hati adalah awal dari menyelamatkan masa depan, baik di dunia maupun di akhirat.