Oleh : Andy Ratmanto, SH / Anggota MHH KKP PDM Solo
daidwijatmiko.com – Dalam dunia politik Indonesia yang terus bergolak, Partai Ummat kembali menjadi sorotan. Bukan karena maneuver politiknya di kancah nasional, melainkan karena kisruh internal yang kini menyeret sejumlah pengurus DPD dan DPW ke jalur hukum. Mereka dikabarkan akan menggugat Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga serta kepengurusan baru yang di nilai tidak sah dan tidak aspiratif. Target gugatan itu tidak main-main : kubu pendiri sekaligus ikon partai, Amien Rais.
Langkah ini patut disoroti dari berbagai sisi politik, etika, dan masa depan demokrasi intrernal partai di Indonesia.
Partai Ummat lahir dari Rahim reformasi, dibidani oleh tokoh-tokoh yang sebelumnya kritis terhadap oligarki partai besar. Namun kini, semangat teformasi itu justru diuji dari dalam. Gugatan terhadap AD/ART dan kepengurusan menunjukkan bahwa ada ketidakpuasan structural yang tidak tersalurkan secara sehat melalui mekanisme internal. Ironisnya, konflik ini justru terjadi dalam partai yang mengusung semangat keummatan dan moralitas.
Pertanyaannya : apakah pengurus pusat telah mengabaikan aspirasi daerah? Ataukah para pengurus daerah ini hanya segelintir orang yang tak puas karena kehilangan posisi dalam struktur baru?
AD/ART seharusnya menjadi konstitusi partai yang mengatur jalannya organisasi secara adil dan transparan. Jika ia menjadi alat kelompok tertentu untuk mempertahankan kekuasaan, maka sudah semestinya dikritisi. Namun, jika gugatan ini hanya lahir dari kekecewaan karena rotasi kepengurusan, maka kita pun perlu jujur menyebutnya sebagai dinamika politik biasa yang di bungkus dengan bahasa legal.
Gugatan terhadap AD/ART bukan hal sepele. Ia menyiratkan bahwa proses penyusunan dan pengesahan dokumen itu mungkin tidak partisipatif. Apakah forum Musyawarah Nasional benar-benar melibatkan suara daerah? Apakah perubahan kepengurusan dilakukan melalui mekanisme yang transparan? Jika tidak, maka gugatan ini bukan hanya sah secara hukum, tetapi juga etis secara politik.
Kisruh ini mengingatkan kita pada siklus berulang dalam partai-partai baru di Indonesia : semangat besar di awal, namun rapuh dalam konsolidasi. Konflik elite seringkali merusak kepercayaan akar rumput, dan yang di rugikan bukan hanya kader, tetapi juga demokrasi itu sendiri. Bila Partai Ummat tidak segera menyelesaikan konflik ini dengan cara musyawarah, mereka beresiko menjadi partai yang tidak relevan di tengah rakyat yang makin cerdas.
Menggugat AD/ART ke pengadilan memang hak setiap kader, tetapi bukan berarti itu cara terbaik. Bukankah lebih bijak bila konflik ini diselesaikan melalui forum-forum internal partai yang bersifat deliberatif? Bila Partai Ummat ingin tetap mengusung nilai-nilai keadilan, maka mereka perlu membuktikannya di rumah sendiri sebelum menyerukannya ke luar.
Amien Rais sebagai tokoh sentral partai memiliki tanggung jawab moral untuk membuka ruang dialog dan mengakomodasi kritik, bukan hanya loyalitas. Justru dalam menghadapi gugatan inilah integritas beliau dan partai diuji : apakah akan memelihara budaya otoriter atau membangun tradisi demokrasi yang sehat?
Gugatan DPD-DPW terhadap AD/ART dan kepengurusan Partai Ummat adalah momen penting yang seharusnya tidak sekadar dianggap ancaman. Ia adalah cermin yang memantulkan wajah asli partai : apakah sungguh demokratis atau hanya demokratis dalam slogan.
Jika Partai Ummat gagal menjawab tantangan ini dengan dewasa, maka sejarah mungkin akan mencatatnya sebagai partai yang besar dalam cita-cita, namun gagal dalam praktik.